Rabu, 01 Juni 2022

Air Mata Menggenang Siang Bolong

Sudah puluhan, bahkan ratusan kali aku mendengarkan May I Have This Dance dari Francis and The Light. Terima kasih tak terkira untuk YouTube shuffle yang mempertemukanku dengan karya soloist ini.

To be honest, the amount I've listened to this song within 2021 is unhealthy. I totally love the music, lyric, rhythm, vocal, everything in it.

Tapi, hari ini entah mengapa sensasi mendengarkannya agak berbeda, karena tiba-tiba saja aku mendapati mataku basah di pertengahan lagu. Siang-siang air mata menggenang.

Ini bukan tipe musik yang galau, melainkan seperti tersemat di judulnya, lagu ini seru saja untuk latar berdansa. Maksud dari liriknya pun aku yakin tentang hubungan romantis, ditujukan untuk kekasih. Namun saat mendengar lirik ini:

May I have this dance?

To make it up to you

Can I say something crazy?

I love you

Give me both your hands

To make it up to you

Let me spin and excite you

Entah kenapa ini seperti lirik yang aku buat sendiri, lalu ditujukan untuk diriku sendiri. 

Agak aneh, ya. Tapi itulah lagu, bisa diinterpretasikan atau dimaknai lain tergantung siapa yang mendengar.

Mau tahu apa yang ada di pikiranku saat mendengar lirik itu?

Diriku mendadak muncul mengajakku berdansa.

Diriku mengucapkan I love you pada diriku sendiri.

Diriku mengulurkan tangan pada diriku sendiri. Seolah diriku sendiri tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja dan memerlukan bantuan.

Hanya diriku sendiri yang aku butuhkan untuk membuatku "hidup" kembali.


Diriku perlu lebih percaya pada diriku sendiri. 


Aduh, nangis lagi.

Jumat, 07 Juli 2017

Nikmat-nikmat Kecil yang Terlewat

Hari ini aku menyadari kalau cukup dibutuhkan dua hal aja untuk jadi mahasiswi semseter akhir yang bahagia, yaitu :
1.       Dosen pembimbing ada di ruangan, dan
2.       Menemukan buku referensi yang dicari

Sepele ya ? tapi justru yang sepele itu terkadang rasanya nikmat sekali. SE-KA-LI. Dan entah udah berapa kali kita ga menyadari, atau bahkan mendustakan nikmat-nikmat kecil itu.

To be honest, masa skripsian ini emang menguras tenaga, waktu dan pikiran. Tenaga, karena harus bolak-balik Cemani-kampus. Waktu, karena harus menunggu dosen dan revisian dibalikin. Dan pikiran, karena dari bangun tidur sampe tidur lagi selalu keinget skripsi, bahkan pernah kebawa mimpi.

Angkatan aku bisa dibilang lulusnya cepet, sampai detik ini terhitung udah empat kepala yang sidang. Sedangkan aku? Masih jalan di tempat. Masih di situ-situ aja. Hal ini bikin aku sering merutuki diri sendiri, kenapa sih yang lain kayanya mulus-mulus aja, kenapa sih dosbingnya pada enak, kenapa sih tiap minggu pada bisa konsul tapi aku enggak, dan kenapa sih kenapa sih yang lainnya. Iri gitu, berasa orang paling menyedihkan di dunia. Selalu aja bawaannya negatif terus.

Tapi untungnya hal itu ga berlangsung lama. Hari ini setelah selesai konsul ke dosbing, aku duduk di depan jurusan. Sepi, gak ada orang, dan aku bengong sendiri. Selesai bengong tiba-tiba aku ngegumam, “aku ini ngapain sih?”

Enggak, enggak, aku enggak amnesia kok. Jadi tiba-tiba aku refleksi diri sendiri, mengingat yang udah-udah di mana aku selalu mengeluh dan mengeluh. Enggak terhitung banyaknya keluhan soal skripsi yang sebenernya ga perlu-perlu banget dilontarkan.

Kenapa aku harus mengeluh dapet dosbing ini? Padahal bliyo orangnya sangat kompeten dan penjelasannya mudah dimengerti untukku yang begonya kebangetan.

Kenapa aku harus mengeluh tiap minggu ga bisa konsul? Padahal waktu seminggu bisa aku gunain buat baca lebih banyak.

Kenapa juga aku harus iri sama temen-temen lainnya? Padahal setiap orang punya jalannya sendiri-sediri. Punya jatahnya sendiri.

Kenapa harus melaknati setiap hal? Padahal semua hal bisa dinikmati dengan caranya masing-masing.

Dan kebengongan hari ini ditutup dengan kelaparan yang membawaku ke hokben. Menikmati seporsi nasi pulen dicampur salad yang entah kenapa rasanya bisa selezat itu.

Ah, ternyata nikmat begitu dekat walaupun tidak selalu terlihat.

Jadi gimana? Masih mau ngeluh lagi? Plis, deh!

Sabtu, 25 Februari 2017

Dari Hectic Jadi Hening : Short Story About KKN


Well ya, KKN was over right on the day after tomorrow and it means welcome to da real struggle : Skripsi!

Kalau boleh jujur, sampe sekarang masih suka ngerasa kaget dan berkali-kali bilang dalam hati,  "Wow, udah semester akhir" dan "Demi apa udah skripsi aja". Sedih banget, parah. Beda sama temen-temen lainnya yang kepengen cepetan lulus, aku malah masih pengen jadi mahasiswa. Ngapain sih pengen cepet-cepet lulus? padahal jadi mahasiswa itu enak tau, masih bisa ikut lomba-lomba, masih dapet diskon kalo ikut seminar, masih bisa bikin project ini itu, dan yang paling penting : belum menyandang gelar pengangguran .

Lucu ya, dulu waktu SMA aku pikir kuliah bakalan gitu-gitu aja, bakal biasa aja. Eh tapi ternyata i'm in love with this college life! Will be missing all the hectic doing assignments, the happiness of being finalist, the late night going home and etc.

Sama kaya KKN yang aku pikir bakal biasa aja. Fyi, aku salah satu mahasiswa yang ga setuju dengan konsep KKN yang cuma formalitas aja jadi salah satu program dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sebodo amat lah sama KKN, udah underestimate duluan. But hey, i was wrong, KKN isn't as bad as it seems.

So here we go, ceritanya aku menjalani KKN di salah satu dari 13 desa tertinggal di Wonogiri, yaitu Tlogoharjo. Dari jalan besar arah Solo-Pacitan, harus masuk hutan dulu buat ke desa ini. Kalau dibilang tertinggal sih enggak juga, soalnya selama 45 hari di sini aku enggak merasakan kesulitan yang berarti. Cuma ya akses jalannya naudzubillah dan susah sinyal.

Kenapa aku bilang KKN ga buruk-buruk amat? yah karena hidup jadi lebih teratur. Makan tiga kali sehari (bahkan lebih), bangun lebih pagi, tidur lebih awal, bisa solat ke masjid, dan hidup jauuuuuuuh lebih tenang tanpa adanya notifikasi.

(Dari kiri ke kanan) Tuhu, ciwi gemash termacho. Shita, mentel yang hobi make up. Dede, pinter tapi kadang suka lemot. Nisa, kalo makan cuma tiga sendok. Aku. Falakh, sumber kesalahan. Alfath, sedang beranjak dewasa :))
 




Thing to be thankful for aku satu kelompok KKN dengan tujuh manusia di atas. Yap! satu kelompokku cuma tujuh orang, sangat sedikit dibanding tim KKN lain yang bisa sembilan ataupun sepuluh orang. Emang kayaknya kekurangan tenaga sih, tapi sisi baik dari jumlah anggota yang sedikit ini adalah less arguing, less drama dan kemana-mana bisa selalu bareng. Keliatan kompak gitu, hehe. Padahal aslinya mah ga juga. Tapi serius, menyatukan pemikiran dari tujuh kepala itu emang jauh lebih mudah.

Dan kelompok kita cukup bandel sih. Waktu itu pas hari terakhir KKN, semalam sebelum ditarik kembali ke kampus, semua tim KKN di kecamatan Wonogiri diundang oleh Pak Walikota untuk makan malam bersama di balaikota. Kalau tim lain iya-iya aja, sejak awal ada rencana itu kita semua ga setuju. Ya ngana fikir, kita kebanyakan cewek, desanya tengah hutan, ke sana pake motor, malem-malem, kelar acara gatau jam berapa. Kamu pernah nonton film Vanishing? yah gitu lah kalau motoran malem malem di desa situ, penerangannya cuma lampu motor, pas nengok ke belakang gelap gulita ga ada kehidupan.

Pendek cerita, kita ga ijin (ijin ga ya kok aku lupa) buat ikutan makan malem ke koordinator kecamatan. Sehari sebelumnya Tuhu balik ke Solo ambil mobil, terus kita sekalian packing dan pamit pulang ke Bapak sama Bu Kades. Tapi kitanya mlipir ke pantai srau buat ngecamp, haha! Sungguh menyenangkan baru pertama kali ini ngerasain kemah di pantai.

Terus prokernya gimana? Well, jujur aku bilang proker yang kita gagas ga seratus persen berhasil, apalagi proker utama yang concern sama pertanian. Banyak kendala sih, dari yang miskomunikasi sama Pak Kades, struktur tanah dan geografi penduduk yang ga mendukung, cuaca dan waktu yang bentrok sama jadwal penduduk panen di sawah.

Tapi yang aku sadari di sini adalah, KKN ga sekedar mengajari mengabdi lewat proker, tapi jauh lebih penting dari itu, KKN mengajari kita untuk mengetahui siapa diri kita sebenarnya. Di kampus kamu boleh jadi yang terbaik, ter-perfect dan terpintar. Tapi kalau kamu udah terjun langsung dalam masyarakat desa, almamater dan ilmu mu tidaklah seberapa kalau ga bisa mengaplikasikan dan berbaur :)







Kamis, 28 Juli 2016

(Ng)Uber

 Foto diambil dari Google

Hampir dua minggu tinggal di Jakarta, Uber Motor jadi pilihan aku untuk kesana-kemari. Kenapa bukan ojek online lain seperti gojek atau grab bike? Ya alasannya cuma satu, karena naek Uber motor itu murah banget, parah! 

Awalnya aku cuma tau kalo uber itu ojek taksi aja. Aku juga ga percaya waktu temen aku bilang “Kemaren ke blok m naik uber motor cuma abis 2500,” Gila, itu naik ojek apa beli gorengan.
Tapi emang murah bangeeeeett nget nget. Bayangin, dari Soetta ke Radio Dalam cuma abis 130 rebu coba. Bayangin, dari kos aku sampe kantor yang jaraknya 700 meter cuma bayar 1500. Bayangin, dari dulu sampe sekarang kamu cuma kasih harapan palsu. Eaaa~~

Buat drivernya pun juga ramah dan friendly. Selama ini aku order alhamdulilah dapetnya yang baek-baek dan nganterin sampai tujuan. Kadang kalo lagi hoki, bisa dapet driver yang masih muda nan tampan. Ahay. 

Waktu pertama kali aku nyobain Uber motor, aku dapet driver mas-mas ganteng dan wangiiiiiiiiiiiiiiiii banget kaya abis mandi parfum. Padahal akunya sendiri belom mandi sore abis dari blok m. Kalo gini kan penumpang seneng, udah drivernya ganteng, baek, wangi lagi. Kan malesin ya kita udah capek-capek eh dapetnya driver bau kecut. 

Tapi pernah nih ya, dapet driver yang agak malesin. Nunggunya luama banget, udah gitu dia ga ngerti jalan dan minta dipandu. Ampun, aku aja ga ngerti jalan. Terpaksa harus ngeluarin hp sambil liat GPS, padahal aku orangnya paling males lagi naik motor sambil mainan hp. Dan pas udah sampe tujuan, dianya ga mgasih kembalian terus minta dikasih bintang lima. Yaelah. Tapi ya aku kasih aja bintang lima. Well, as long as he drivin me safe to the place, he deserves it.

Buat uber ojek sendiri mereka ga berseragam kayak gojek maupun grab bike. Tapi tenang aja, kamu bisa ngenalin mereka dengan mudah. Biasanya di helmnya ada tulisan Uber dan berpakaian hitam atau gelap. Buat driver bisa kok kamu liat foto dan namanya, plus jenis motor dan plat nomernya tertera di aplikasinya.

Oh ya, untuk cara order uber motor sendiri pertama-tama harus install aplikasi UBER dulu. Abis itu registrasi nikin akun dulu, pastikan nomer yang kamu cantumin itu nomer utama ya. Kalau pakai nomer yang Cuma dipakai pas ada kuotanya doang kan ribet ntar harus gonta-ganti. 

Terus udah kan bikin akun, tinggal order deh. Ada tiga pilihan uber: uber motor, uber x dan uber black. Bedanya uber x sama uber black apa sih? Uber black pakai mobil mahal sekelas bmw atau camry gitu, dan bayarnya lebih mahal juga. Uber x pakai mobil biasa sekelas brio atau xenia gitu, dan lebih murah. 

Setelah pilih ubernya, tinggal set pickup location terus ketuk tanda plus (+) untuk ketik tempat yang dituju, Nanti bakal muncul fare estimate. Tinggal order terus nunggu drivernya dateng deh.

Oh ya, ada satu tips kalau mau naik uber ojek, yaitu bayar pakai uang pas. Kalo abisnya 4500 kamu bayar pakai 5000an terus ga dikasih kembalian, mungkin driver lagi ga punya receh. Kalo kamu abisnya 9000 kamu bayar 10000 ga dikasih kembalian, mungkin driver lagi gapunya ribuan. Kalo kamu abisnya 20 rebu kamu bayar 50 rebu ga dikasih kembalian............. mungkin itu namanya driver kurang ajyar.


Senin, 16 Mei 2016

Lagi-lagi Jogja

Selalu menyenangkan untuk kembali ke Jogja, kota yang punya bakpia sebagai oleh-oleh khasnya. Sebenarnya  Jogja tidak jauh beda dengan Solo, dari orang-orangnya, suasana sampai makanannya. Jaraknya pun cukup ditempuh selama satu jam menggunakan prameks. Tapi entah kenapa, Jogja selalu menyenangkan untuk disinggahi lagi dan lagi.

Seperti minggu lalu, hampir seminggu penuh aku berada di Jogja. Untuk cari tempat magang dan lomba. Awalnya kupikir cukup satu hari aku mencari lokasi agensi iklan, tapi sialnya GPS ku bermasalah dan aku kesasar sampai jalan Solo-Jogja.  Jadilah aku di Jogja sampai hari Selasa, dan sialnya lagi, setelah menemukan lokasinya, ternyata kantornya pindah untuk sementara. Karena sudah kepalang tanggung ya, ya sudah aku cari alamatnya dan ternyata sangatlah dekat dengan UGM, and I just feel like….. damn. Tapi tidak apa, itung-itung explore Jogja, heuheu.

Lalu hari kamis malamnya, aku balik lagi ke Jogja buat ngikutin lomba di hari Jumat-Sabtu. Lomba yang sama seperti yang aku ikuti setahun lalu dan menang, tapi kali ini untuk mata lomba yang berbeda dan sayangnya, gak menang. Soalnya tidak ada juara satu maupun dua haha, dan masih menjadi bahasan sampai aku bikin tulisan ini. It’s okay we’re looking for experience, not looking to be a winner. Kita menganut prinsip finalis dulu, juaranya nanti. Ahzeekk.

Tapi seperti yang kubilang di awal, kembali ke Jogja selalu menyenangkan. Begitupun kembali menjadi finalis lomba, walaupun ga menang, ga kalah menyenangkan. Jadi finalis artinya bisa ikut workshop dan seminar gratis, ketemu pembicara keren, dan tentunya ketemu finalis lain dengan ide-ide keren mereka yang membuatku merasa seperti remah-remah bakpia.

Jadi ceritanya sehabis presentasi karya kita ikut workshop sama Glenn Marsalim, seorang yang dulunya praktisi periklanan handal dan sekarang jadi freelancer. Awal ngeliat si Mas Glenn yang pakai kaos gambar mangkok ayam  ini aku kayak “nih orang unik deh..,” Mas Glenn perawakannya kecil dan ga terlalu tinggi, bertato hijau. Kulitnya putih, mungkin ada turunan chineesenya. Dan yang jelas orangnya humble, murah senyum. Tapi pas ngasih materi soal Guerilla Marketing dia to the point. Asik deh.

Yang paling aku inget dari materi yang dia sampaikan kemarin adalah saat dia ngomong,

“Kamu kasih alasan ke klien buat increasing awareness? Increasing awareness mbiyahmu!”.

Dan saat itu juga aku langsung merasa tertampar, eh salah, ditabok. Ketawa-ketawa getir keinget presentasi kita barusan yang masih sok-sok an increasing awareness. Jadi Mas Glenn ngasih tau kalo increasing awareness itu ga bisa disebut increasing awareness kalau engga driving sales, karena sekarang people not in control and client don’t have much money to make people just aware of its product. Padahal di kampus aku masih merasa diajarin bikin awareness dulu dan lainnya yang sudah sangat last year. Okay noted Mas Glenn, ga lagi-lagi deh bikin konsep yang cuma building awareness.

Sehabis workshop aku kepo juga sama Glenn Marsalim ini, ternyata dia lebih keren dari yang aku duga. Pengalaman sama penghargaannya gaperlu dipertanyain lagi lah. Tapi satu yang aku suka dari Mas Glenn, gesture dia yang seperti anak kecil melihat dunia luas. Mukanya tuh babyface banget padahal udah kepala empat haha.

Pokoknya aku bener-bener menikmati sesi workshop sama Mas Glenn saat itu. Ditunjang tempat yang cozy di Loop station dan pembicara yang atraktif, jadi kita kaya ngobrol santai gitu, tapi tetep materinya masuk ke otak. Ini nih yang ga bakal bisa didapetin di kampus.



Terus hari berikutnya kita ikut seminar soal Gen-flux, pembicaranya ada Mas Stasnis co-founder Salestock dan Mas Yazied pendiri Srengenge Culture lab, elah yang agensinya aku cari sampe nyasar-nyasar.

Pertama Mas Stanis ngejelasin soal Gen-flux. Baru denger kan? Sama, kalau ga ikut lomba mungkin aku juga ga tau apa itu gen-flux. Jadi kalau selama ini kita taunya baby boomers, gen Y, gen X, gen Z, sekarang ada istilah baru lagi nih, yaitu gen-flux. Tapi gen-flux bukan merujuk ke salah satu generasi, melainkan mainset bahwa gen-flux adalah mereka yang tidak peduli dari generasi apa tapi punya kemampuan adaptasi dan inovatif untuk struggling di kejamnya dunia ini.

Mas Stanis juga cerita soal SaleStock. Aku ga menyangka kalau ternyata SaleStock sebesar itu, besar dalam artian income dan udah ekspansi ke luar negeri juga. Padahal SaleStock kalau kita liat simple banget, dia semacam online shop dengan barang yang murah dan menyasar ke middle-low class. Tapi ternyata barangnya sama kaya online shop terkemuka lain yang harganya jauh lebih mahal. Intinya keren lah si SaleStock ini.

Terus kalau Mas Yazied, ya karena basicnya dia creative jadi materinya ga jauh dari proses kreatif iklan. Dia juga sedikit ngajarin soal wirausaha, dan tentunya soal Srengenge. Ternyata dia sekarang lagi ngebangun bisnis dan ga full time di Srengenge lagi. Ealah, pantes emailku dialihkan.

Yang paling menarik di seminar ini waktu ada finalis yang nanya soal mempertahanin idealism, soalnya di awal materi Mas Yazied bilang dia punya idealism bahwa agensi besar ga harus di Jakarta. Mas Yazied jawabnya walau punya idealism, harus tau diri juga. Idealisme beda sama ambisi, dan untuk mempertahanin idealism butuh bantuan orang lain juga yang berpikiran sama, ga bisa semua dilakuin sendiri.

Dan yang paling aku inget adalah jawaban Mas Stanis, dia bilang kurang lebih gini,

“Mertahanin idealism gampangnya kita umpamakan kaya diagram venn. Ada tiga lingkaran yang pertama isinya passion, yang kedua are you good at it or not, dan yang ke tiga apakah bisa kasih makan kamu? Setidaknya dua lingkaran itu harus terpenuhi, kalau cuma satu ngapain, ganti yang lain aja,”

Dari jawaban Mas Stanis pikiranku jadi terbuka dan aku jadi merasa punya pegangan buat nentuin kedepannya harus gimana. Sungguh lightening my mind. I know my passion and know what should I do to turn it into the real job. This is what I want to do for my life. But life never been easy, so what happen next I should face it and remember the reality.

Ya, lagi-lagi di Jogja sangatlah menyenangkan. Terima kasih Jogja, comminfest, dan LO yang sudah mau antar jemput hehe. Karena kalian, lagi-lagi ada cerita yang sayang untuk tidak dituliskan. 

Salam sayang dari mahasiswi yang mau magang, muah.

Jumat, 05 Februari 2016

Memahami Murakami



“Berulangkali kubaca buku-buku itu, atau adakalanya hanya dengan memejamkan mata, menghirup aroma, dan menyentuh halaman buku, aku sudah merasa bahagia.”

Aku –dan semua kutu buku kurasa- sangat setuju dengan kalimat di atas. Apa lagi yang lebih candu selain aroma buku? Siapa yang paling setia menemani kesendirian selain buku?. Dan kalimat di atas adalah salah satu kalimat yang paling aku suka saat membaca Norwegian Wood.  

Aku adalah orang yang bisa dibilang sangat picky soal membeli buku maupun menonton film di bioskop. Ketika orang lain bisa dengan santainya memutuskan menonton film apa ketika sudah sampai di bioskop, aku kebalikannya. Aku harus membaca sinopsisnya dulu dan review dari blogger ataupun IMDB. Pun dengan perihal membeli buku. Aku akan tahu persis buku apa yang ingin kubeli sebelum sampai di toko buku. Perhitungan sekali ya? Haha, tidak juga. Lain cerita kalau sudah mampir di toko buku bekas. 

Membeli novel karya Haruki Murakami ini pun cukup penuh pertimbangan. Awalnya novel ini kubeli karena tertarik oleh review seorang blogger. Dari sinopsisnya cukup menarik, dan profil pengarangnya pun cukup menjanjikan, siapa yang tidak tergiur membaca karya seorang pemenang nobel sastra ?

Jangan harap aku akan menceritakan isi novelnya, karena aku bukan spoiler. Beberapa reviewer mengatakan bahwa membaca Norwegian Wood itu seperti berjalan di dalam lorong yang panjang dan gelap. Namun tidak denganku. Aku mengibaratkan membaca novel ini seperti meminum kopi yang hitam dan pahit, tapi tetap saja habis. Satu peringatanku pada kalian yang berencana membaca novel ini : 
Awas, bisa nambah lagi!